BAB I PENDAHULUAN
Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa enjoy dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Karena penghargaan terhadap profesi guru sangat minim, boro-boro sempat waktu untuk membaca buku yang aktual, mereka sangat sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan memang itu kewajiban utama, apalagi untuk membeli buku pembelajaran yang inovatif. Mereka bukan tidak mau meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi situasi dan kondisi kurang memungkinkan. Permasalahannya adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KBK dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, mudah-mudahan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi sedikit akan berubah pula.
BAB II
PEMBAHASAN
Kegiatan pembelajaran perlu direncanakan, diprogramkan serta dilaksanakan sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berlaku. Guru mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran. Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa lebih tepatnya, bukan sekedar mengajar. Pembelajaran yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Dari sekelumit pemaparan di atas, timbul pertanyaan, bagaimana siswa belajar? Bagaimanakah pembelajaran yang efektif? Bagaimanakah pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa? Bagaimana caranya untuk mencapai pembelajaran yang lebih menitik beratkan pada aktivitas siswa? Dalam pembahasan ini penulis akan menguraikan beberapa model belajar dan pembelajaran, yang di harapakan dapat di jadikan bahan rujukan dalam memilih strategi pembelajaran yang akan di terapkan. menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus diselaraskan dengan mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya. Sehingga tujuan membelajarkan siswa dapat tercapai berikut akan di paparkan beberapa model belajar dan model pembelajaran yang akan dibahas, yaitu:
A. Model-model Belajar
1. Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajaj, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Muhaamadiyah Metro akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besarnya penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan atau menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP UM di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Dengan demikian konsep mendapat respon yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, karena bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis yang biasanya lebih susah untuk dicerna. Mengingat hal itu, guru harus membumbuinya dengan narasi yang kreatif.
2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan terlalu banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inilah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak emosional, kesadaran diri,intuisi ( kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanapa dipelajari ), dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahwa kecerdasan intelektual untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama.
3. Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel metakognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu.
Komponen metakognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya kemampuan dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Menurut Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak yang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari orang yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominan dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bersekolah, belajar menjadi beban dan rasa percaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negatif, seperti pesimis, mudah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternatif, dan mau memperbaiki diri.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negatif seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakah menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti itu? Caranya antara lain dengan cara tidak memfonis, katakanlah “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa pok (bertanya-menjawab-diskusi, presentasi) pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum , dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cara belajar. Jika belajar hanya dengan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besar mencapai 90%.
Dari uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukup dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan perlakuan secara total dan pemikiran yang positif.
6. Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri yang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan sebagai fasilitator dan pembimbing. Kesalahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan.
7. Prinsip Belajar Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajar, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan. Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebagai subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpikul rasa tanggung jawab dan disiplin diri.
Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikator mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik), empiristic (pengalaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.
B. Model-model Pembelajaran
Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara dan gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal begitu pula kegiatan belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan yang di inginkan,begitu pula hasil yang di harapakan dapat tercapai dengan maksimal, ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, sebagai guru harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini beberapa model pembelajaran yang di adopsi dari beberapa sumber, yang dapat dijadikan alternatif pedoman dalam memilih cara pembelajaran yang akan di terapkan dalam proses belajar mengajar, sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi.
1. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. caranya menyiapkan sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
2. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
3. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, atau aturan). Dengan cara menyajiakan permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau aturan yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.
4. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adalah pemecahan masalah dangan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.
5.Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara dan solusinya juga bisa beragam. Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan ide, kreativitas, kemampuan, kritis, komunikasi-interaksi, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprofisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang berfariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya, makna, kembangkan permasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitkan dengan materi selanjutnya, siapkan rencana bimbingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Dengan cara menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat respon siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.
6. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan, sikap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Sebaiknya dalam kondisi tersebut, sebagai guru hendaknya bila memberikan pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut, senyum , dan tertawa. Sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah ciri dia sedang belajar dan ia telah berpartisipasi.
7. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (menggali pengetahuan ), eksplanasi (menghenalkan konsep baru dan alternatif pemecahan), dan aplikasi (menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda).
8. Reciprocal Learning
Weinstein dan Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mengemukakan bahwa belajar efektif dengan cara membaca, merangkum, dan bertanya.
Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKS-modul, membaca dan merangkum.
9. Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, dinamis, interaktif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua yang dibicarakan itu bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep yang harus dialami, dan setiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat di dalam dunia realitas siswa.
Contoh kecil Rumus quantum fisika adalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m = massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan komunikasi ditambah dengan aktivitas optimal.
Dengan pemilihan metode belajar dan pembelajaran yang tepat, diharapkan mampu menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif. Begitu juga siswa diharapkan akan lebih beraktifitas dalam belajar. Tidak hanya pasif sebagai penonton, karena pendidik yang monoton. Karena pada hakekatnya hidup ini dari waktu ke waktu selalu dinamis dan berjalan terus menuju perubahan yang lebih maju. Begitu pula dalam dunia pendidikan, bagi pendidik yang selalu monoton cenderung membawa siswa pada suasana belajar membosankan, pada akhirnya siswa akan cenderung pasif sehingga aktifitas siswa dalam belajar hanya datang, duduk, diam. Jika ini yang terjadi, bagaimanna dengan hasil pembelajaran yang di harapkan? Akan kah tercapai? Atau justru sebaliknya kualitas belajar akan semakin terpuruk?
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa panjabaran teori tentang model-model belajar dan pembelajaran, bila dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar selain kecerdasan atau intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, faktor lingkungan juga mempengaruhi mereka. Peserta didik yang mempunyai lingkungan rajin belajar kemungkinan besar akan mempunyai semangat yang lebih dalam belajar. Begitu pula dengan tenaga pengajar yang selalu mempunyai inovasi baru dalam cara penyampaiannya kepada siswa akan lebih menyenangkan bagi para siswa. Sehingga siswa akan lebih kreatif dan bersemangat dalam belajar, kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan akan lebih kondusif. begitu pula hasil belajar yang diharapkan akan terwujud, Peningkatan kualitas pembelajaran tidak terlepas dari strategi pembelajaranyang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran.karena berhasil tidaknya tujuan yang akan di capai sangat di pengaruhi oleh efektif tidaknya proses pembelajaran yang di alami.
Kehidupan akan terasa indah apabila ada variasi, sebaliknya akan terasa membosankan jika segalanya selalu datar dan tak pernah berubah. Perubahan ke arah perbaikan adalah tuntutan alamiah yang menjadi kebutuhan setiap insan dalam setiap kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.
Burton, L (1993). The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith Cowan University.
Buzan, Tony (1989). Use Both Sides of Yoru Brain, 3rd ed. New York: Penguin Books.
Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.
De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.
Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL). Jakarta.:Depdiknas.
Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA.
Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New York: Basic Bools.
Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar